Sabtu, 10 April 2021

Hubungan Patrap Triloka KHD dengan Pengambilan Keputusan

Pembelajaran di era modern telah banyak memanfaatkan teknologi informasi. Namun di sisi lain, perubahan yang terjadi bukan saja berkaitan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi saja, tetapi juga menyentuh pada perubahan dan pergeseran aspek nilai moral yang terjadi dalam kehidupan bermasyarakat.

Kerawanan akhir-akhir ini yang terjadi baik pada para pelajar maupun pada masyarakat umum yang banyak melakukan penyimpangan atau perbuatan yang tidak sesuai dengan nilai etika, moral bahkan sampai pada penyimpangan terhadap norma-norma agama. Media sosial yang semakin beragam dan gadget yang semakin mudah dijangkau dan tidak diiringi dengan pendidikan nilai luhur, teladan, serta pantauan dari orang sekitar dapat memperparah kondisi para remaja, khususnya para pelajar. Pada media sosial tidak jarang dijumpai kalimat atau kata-kata yang sejatinya tidak mencerminkan jati diri seorang yang berakhlak mulia.

Situasi di atas mengakibatkan munculnya berbagai macam persoalan pembelajaran pada diri murid maupun sebagian guru yang juga merupakan bagian dari masyarakat umum. Kondisi ini pada akhirnya guru tidak jarang dihadapkan pada masalah-masalah di sekolah yang mengandung unsur dilema etika dan bujukan moral. Hal ini membuat peran guru sangatlah sentral dalam proses pendidikan. 

Dalam hal ini, guru sebagai seorang pamong dapat menggunakan sistem among dalam pembelajaran untuk menyampaikan terkait dengan karakter bagi para muridnya. Selain itu integrasi pratap triloka yang merupakan filosofi pendidikan Ki Hajar Dewantara menjadi sangat penting dalam konteks sekolah terutama dalam pengambilan keputusan bagi guru sebagai pemimpin pembelajaran.

Terdapat tiga unsur penting dalam Patrap Triloka, yaitu: (1) Ing ngarsa sung tulada (2) Ing madya mangun karsa (3) Tut wuri handayani. Ing ngarso sung tulodo, berarti bahwa seorang pemimpin (guru) haruslah memberikan sauri tauladan yang baik bagi orang yang dipimpinnya. Guru harus selesai dengan dirinya sendiri yang kemudian ini terefleksikan dalam keteladanan setiap mengambil keputusan terhadap murid-murid dan orang-orang disekitarnya. Inilah prinsip pertama yang harus dimiliki oleh seorang guru. Keteladanan menjadi sebuah hal yang penting karena akan berpengaruh pada tingkat kepercayaan orang-orang yang dipimpinnya terhadap dirinya.

Ing madya mangun karsa artinya guru (pemimpin) harus bisa bekerja sama dengan orang yang didiknya (murid). Sehingga pembelajaran yang dilakukan akan terasa mudah atau ringan dan akan semakin mempererat hubungan antara guru dengan murid, namun tidak melanggar etika jalur pendidikan. Dengan menerapkan ing madya mangun karsa, guru diharapkan mampu menjadi rekan sekaligus sebagai pengganti orang tua murid, sehingga guru mampu mengetahui kebutuhan belajar murid. Salah satu kebutuhan belajar murid adalah keterampilan mengambil keputusan. Karena itu dengan ing madya mangun karsa guru dapat melakukan coaching terhadap para muridnya dalam mengambil keputusan termasuk keputusan yang mengandung unsur dilema etika yang dihadapi para murid. Dengan demikian potensi murid menjadi lebih berkembang sehingga mampu mengambil keputusan-keputusan yang tepat bagi dirinya.

Tut wuri handayani yaitu memberi kesempatan kepada siswa untuk maju dan berkembang. Memberikan ilmu-ilmu dan bekal-bekal yang akan menambah wawasan dan kepintaran murid, guru tidak akan rugi. Inilah fungsi seorang guru sebagai coach dan motivator, ia mampu mendorong kinerja murid untuk terus berkembang dan maju serta mampu mengambil keputusan-keputusan yang tepat untuk mengembangkan potensi yang dimilikinya.

Pendidikan di dalam alam demokrasi saat ini adalah pendidikan yang bersifat individu dan sekaligus juga sosial, pendidikan bersifat individual karena memperhatikan aspek pribadi yang unik dengan segenap kemungkinannya. Sedangkan pendidikan bersifat sosial karena mengkaitkan pribadi dengan sesama manusia untuk hidup bermasyarkat. Dalam hal ini penting bagi guru untuk mampu mengambil keputusan yang tepat tentang pembelajaran berdiferensiasi serta terintegrasi pembelajaran sosial-emosional. Tentu tak semudah membalikan telapak tangan apalagi ketika dalam proses tersebut atau dalam konteks persekolahan lainnya dihadapkan pada dilema etika. 

Pengambilan keputusan adalah sebuah proses menentukan sebuah pilihan dari berbagai alternatif pilihan yang tersedia. Seorang guru terkadang dihadapkan pada suatu keadaan dimana ia harus menentukan pilihan (keputusan) dari berbagai alternatif yang ada. Proses ini terkadang amatlah rumit karena berdampak pada dirinya dan lingkungan sekolahnya. Belum lagi pertentangan nilai-nilai yang tertanam dalam dirinya akan mempengaruhi prinsip-prinsip dalam mengambil suatu keputusan. Setiap orang dapat membuat keputusan, akan tetapi dampak keputusan yang ditimbulkan berbeda-beda. Ada yang sempit dan ada pula yang luas ruang lingkup yang terkena dampak atau pengaruh tersebut.

Pada umumnya suatu keputusan dibuat dalam rangka untuk memecahkan permasalahan atau persoalan (problem solving) dan setiap keputusan yang dibuat pasti ada tujuan yang hendak dicapai. Karena itu agar pengambilan keputusan efektif maka seorang guru selain berpegang pada nilai-nilai kebajikan yang tertanam pada diri, perlu menerapkan sembilan langkah pengambilan dan pengujian keputusan sebagai berikut :

1. Mengenali bahwa ada nilai-nilai yang saling bertentangan dalam situasi ini.

2. Menentukan siapa yang terlibat dalam situasi ini

3. Kumpulkan fakta-fakta yang relevan dengan situasi ini

4. Pengujian benar atau salah

a. Uji Legal

b. Uji Regulasi/Standar Profesional

c. Uji Intuisi

d. Uji Halaman Depan Koran

e. Uji Panutan/Idola

5. Pengujian Paradigma Benar lawan Benar

a. Individu lawan masyarakat (individual vs community)

b. Rasa keadilan lawan rasa kasihan (justice vs mercy)

c. Kebenaran lawan kesetiaan (truth vs loyalty)

d. Jangka pendek lawan jangka panjang (short term vs long term)

6. Melakukan Prinsip Resolusi

a. Berpikir Berbasis Hasil Akhir (Ends-Based Thinking)

b. Berpikir Berbasis Peraturan (Rule-Based Thinking)

c. Berpikir Berbasis Rasa Peduli (Care-Based Thinking)

7. Investigasi Opsi Trilema

8. Buat Keputusan

9. Lihat lagi Keputusan dan Refleksikan

Dalam dunia pendidikan di era modern saat ini, menuntut banyak sekali keputusan yang harus dibuat baik yang memiliki dampak yang luas maupun yang sempit. Terkadang dalam pengambilan keputusan tidak selalu lancar. Banyak permasalahan-permasalahan yang perlu dipertimbangkan dalam pengambilan keputusan. Apalagi bila keputusan yang diambil terdapat konflik atau dapat menyebabkan konflik. Situasi konflik dapat terjadi bila kepentingan dua pengambil keputusan atau lebih saling bertentangan (ada konflik) dalam situasi yang kompetitif. 

Walaupun kelihatannya sederhana, keputusan dalam situasi ada konflik sering kali dalam praktiknya menjadi sangat kompleks (ruwet). Misalnya, guru dihadapkan pada keadaan yang tidak pasti ditambah lagi adanya tindakan pihak lain yang bisa mempengaruhi hasil keputusan. Faktor-faktor yang dipertimbangkan menjadi lebih banyak. Jadi pengambilan keputusan sering tidak sederhana.

Walaupun dalam kenyataannya, kita membuat keputusan setiap hari, jarang sekali kita merenungkan sejenak tentang bagaimana sebenarnya kita membuat keputusan. Tak seorang pun sempurna sebagai pengambil keputusan, akan tetapi kita menghendaki suatu sukses paling tidak untuk keputusan-keputusan paling penting. Pengambilan keputusan yang baik dapat dicapai melalui proses belajar dan latihan serta pengalaman yang cukup. Agar dapat memperbaiki kualitas pengambilan keputusan itu sendiri seorang guru harus secara terus-menerus mencari jalan untuk lebih bijaksana, rasional, sistematis dan terstruktur di dalam pengambilan keputusan. 

Pengambilan Keputusan sebagai Pemimpin Pembelajara

Kepemimpinan adalah sesuatu yang melekat pada diri pemimpin dalam bentuk kepribadian dan sifat-sifat tertentu seperti, cerdas, jujur, ulet, matang, tegas, cakap, supel, mampu, tangguh, dan sanggup menjadi seorang pemimpin. Figur seorang pemimpin dijadikan teladan dan panutan oleh mereka yang dipimpinnya, sehingga mereka yang dipimpin akan patuh dan mengikuti apa yang dilakukannya. Dengan demikian betapa besar tanggung jawab dan pengaruh seorang pemimpin, karena tindakannya, perilakunya, dan cara berpikirnya, bahkan kebiasaannya akan diikuti mereka yang dipimpinnya.

Guru adalah pemimpin bagi siswa dalam pembelajarannya, bagi kolega atau teman-teman seprofesinya, dan bagi dirinya sendiri. Guru adalah pemimpin ketika ia sedang melaksanakan pembelajaran di kelasnya. Ia adalah pemegang kendali dan pengambil keputusan saat melaksanakan pemebalajaran. Setiap saat guru harus melakukan suatu tindakan sebagaimana seorang pemimpin di dalam kelasnya. Bagi kolega atau teman seprofesinya, seorang guru juga merupakan pemimpin, tentu saja bukan pemimpin dalam arti formal. Seorang guru yang profesional akan mampu menjadi seorang yang berdiri di depan menunjukkan bagaimana seharusnya menjadi guru yang berkualitas bagi guru-guru lainnya.

Bagi dirinya sendiri, seorang guru juga pemimpin. Apapun yang dilakukan dalam menjalani profesinya sebagai guru tergantung bagaimana ia menjadi pemimpin bagi dirinya sendiri. Ia harus dapat menentukan dan memutuskan apa yang harus ia lakukan demi menjadi guru yang baik dan profesional. Hal ini berarti guru sebagai pemimpin harus memahami, memliki, dan mampu menggunakan pengetahuan dan keterampilannya tentang pengambilan keputusan yang efektif, kreatif, arif dan bijaksana terutama pada situasi-situasi yang rumit seperti ketika dihadapkan pada dilema etika.

Berkaitan dengan hal tersebut terlitas sebuah rencana dalam pikiran saya untuk belajar bersama dengan kolega dan teman-teman seprofesi tentang pengambilan keputusan sebagai pemimpin pembelajaran. Perlu bagi teman-teman seprofesi memahami dan dapat menerapkan paradigma, prinsip berpikir, dan langkah pengambilan serta pengujian keputusan. Kegiatan ini akan saya lakukan sebagai berikut:

1. Pengimbasan, diskusi, dan studi kasus tentang materi pengambilan keputusan sebagai pemimpin pembelajaran yang terdiri dari materi :

a.  Empat paradigma dilema etika yaitu

     1)    Individu lawan masyarakat (individual vs community)

     2)    Rasa keadilan lawan rasa kasihan (justice vs mercy)

     3)    Kebenaran lawan kesetiaan (truth vs loyalty)

     4)    Jangka pendek lawan jangka panjang (short term vs long term)

b. Tiga prinsip berpikir dalam pengambilan keputusan yang mengandung unsur dilema etika

1)    Berpikir Berbasis Hasil Akhir (Ends-Based Thinking)

2)    Berpikir Berbasis Peraturan (Rule-Based Thinking)

3)    Berpikir Berbasis Rasa Peduli (Care-Based Thinking)

c.  Sembilan langkah pengambilan dan pengujian keputusan

1)    Mengenali bahwa ada nilai-nilai yang saling bertentangan dalam situasi ini.

2)    Menentukan siapa yang terlibat dalam situasi ini

3)    Kumpulkan fakta-fakta yang relevan dengan situasi ini

4)    Pengujian benar atau salah

   a)    Uji Legal

   b)    Uji Regulasi/Standar Profesional

   c)    Uji Intuisi

   d)    Uji Halaman Depan Koran

   e)    Uji Panutan/Idola

5)    Pengujian Paradigma Benar lawan Benar

6)    Melakukan Prinsip Resolusi

7)    Investigasi Opsi Trilema

8)    Buat Keputusan

9)    Lihat lagi Keputusan dan Refleksikan

2. Secara individu masing-masing guru menerapkan pengetahuan dan keterampilannya di tingkat kelas secara sistematis dan terstruktur dan merefleksi pengalaman tersebut bersama dengan rekan yang lainnya untuk memberikan umpan balik.

Selain kegiatan tersebut perlu juga untuk mengukur praktik pengambilan keputusan yang saya lakukan. Hal ini dapat dilakukan dengan melihat respon pihak-pihak yang terlibat dalam kasus. Jika keputusan tersebut dapat diterima oleh pihak-pihak yang terlibat meskipun tidak seratus persen karena faktor-faktor subyektif maka keputusan dapat dikatakan sudah tepat karena secara teknis dan prosedur sudah sesuai.

Dalam praktik pengambilan keputusan yang mengandung unsur dilema etika tentu perlu seseorang yang dapat mendampingi, memberikan umpan balik, dan teman diskusi. Terkait hal ini maka saya akan meminta wakil kepala sekolah urusan kesiswaan dan seorang rekan calon guru penggerak satu sekolah.

Kegiatan praktik pengambilan keputusan yang mengandung unsur dilema etika tersebut dilakukan tanpa menunggu terjadinya kasus yang mengandung unsur dilema etika. Kegaiatan melatih keterampilan tersebut dapat diterapkan di tingkat kelas maupun pada kolega dari permasalahan-permasalahan yang kecil sehingga sedikit-demi sedikit keterampilan tersebut meningkat. Pada saatnya dihadapkan pada kasus yang sesungguhnya maka diharapkan telah memiliki ketrampilan yang memadai untuk mengambil keputusan pada kasus yang mengandung unsur dilema etika. Kegiatan tersebut  saya rencankan setelah pelaksanaan Ujian Sekolah untuk kelas IX tepatnya tanggal 20 April 2021

x

Rabu, 24 Maret 2021

Coaching dalam Konteks Sekolah

Sendi-sendi kehidupan umat manusia di dunia terus berubah, dan tidak semua perubahan berdampak positif bagi aspek tertentu seperti dunia pendidikan. Seperti halnya sekolah yang dihadapkan pada globalisasi. Sayangnya tidak semua insan pendidikan siap menghadapi aliran hegemoni global, termasuk dalam sistem pendidikan, dan apa yang harus dipersiapkan oleh para guru untuk murid-muridnya. Hal ini melahirkan kegelisahan sebagian masyarakat terhadap sekolah yang ditunjukkan oleh keraguan orangtua terhadap kemampuan sekolah membuat para murid menjadi pribadi efektif, mandiri, bertanggungjawab, kreatif, dan solutif.

Peran guru sangat mempengaruhi efektifitas belajar murid dalam sesi-sesi kelasnya, kata-kata para guru adalah masa depan mereka. Disinilah sudah saatnya guru bisa berperan menjadi coach, bermitra dengan para murid untuk memberdayakan mereka agar sampai pada tujuan pembelajaran sesungguhnya, memanusiakan manusia, menjadi pribadi hebat, tumbuh dan berkembang sesuai kodrat alam dan kodrat zaman, dan meraih keselamatan dan kebahagian hidup setinggi-tingginya. Guru tidak sekedar professional tetapi harus memiliki kesadaran untuk terus belajar memainkan perannya termasuk sebagai coach bagi murid-muridnya.

Dalam konteks sekolah, coaching sangat efektif, karena guru sebagai coach memiliki kekhususan yaitu kemitraan, proses kreatif dan kompetensi khusus. Coaching merupakan bentuk kerjasama (kemitraan) antara guru sebagai coach dengan murid sebagai coachee dalam mencapai goal atau tujuan tertentu dalam proses belajarnya melalui stimulasi, pertanyaan reflektif, powerfull dan dialog kreatif sehingga murid memperoleh prestasi terbaik yang diharapkan. Untuk berprestasi peserta didik butuh pilar kuat salah satunya self awareness (kesadaran tingkat tinggi).

Proses murid memiliki kesadaran tingkat tinggi tidak bisa muncul begitu saja dengan tiba-tiba, tetapi perlu proses, refleksi, kontemplasi, apresiasi, dan butuh bantuan dari luar dirinya. Disinilah tampak pula peran student coaching sangat penting dilakukan oleh para guru di sekolah dalam PSE (Pembelajaran Sosial-Emosional). Sebagaimana kita ketahui bahwa pembelajaran Sosial-Emosional (PSE) adalah hal yang sangat penting. Pembelajaran ini berisi keterampilan-keterampilan yang dibutuhkan murid untuk dapat bertahan dalam masalah sekaligus memiliki kemampuan memecahkannya, juga untuk mengajarkan mereka menjadi orang yang baik. PSE mencoba untuk memberikan keseimbangan pada individu dan mengembangkan kompetensi personal yang dibutuhkan untuk dapat menjadi sukses.

Setiap murid memiliki potensi yang sama untuk mencapai prestasi dalam perspektif yang berbeda sesuai dengan kecerdasan majemuk yang mereka miliki. Bagaimana coaching memberdayakan murid sehingga mampu membantu efektifitas proses belajar mereka? Dalam hal ini tampak jelas bahwa kemampuan seorang coach dalam pembelajaran berdiferensiasi sangat penting. Melalui coaching maka kebutuhan belajar murid yang berbeda-beda akan dapat terpenuhi.

Dari uraian singkat di atas dapat kiranya dapat dikatkan bahwa coaching, sangat penting karena dapat digunakan untuk menggali potensi murid sekaligus mengembangkannya dengan berbagai strategi yang disepakati bersama. Jika proses coaching berhasil dengan baik, masalah-masalah pembelajaran atau masalah eksternal yang mengganggu proses pembelajaran dan dapat menurunkan potensi murid akan dapat diatasi.

Guru bukan sekadar pengajar tetapi pendidik yang berperan secara menyeluruh dalam aspek diri murid. Guru sebagai coach bukan saja memiliki kompetensi tetapi jauh daripada itu yaitu seorang yang memahami dan mempunyai misi bahwa dari seorang murid yang tidak memiliki kemampuan apa-apa kemudian menjadi memiliki kemampuan yang melebihi dirinya. Guru bukan sekadar membuat murid mampu secara kognitif tetapi juga menuntun, mengarahkan dalam aspek sosial, emosional, spiritual, dan keterampilan.

Referensi : 
Murti Ayu Wijayanti dkk. 2020. Modul 2.3 Program Pendidikan Guru Penggerak. Kemendikbud. Jakarta

Kamis, 18 Februari 2021

Pembelajaran Berdiferensiasi

Pembelajaran Berdiferensiasi adalah berbagai usaha dan keputusan-keputusan yang masuk akal (common sense) seorang guru dalam menyesuaikan proses pembelajaran di kelas yang berorientasi kepada kebutuhan murid atau guna memenuhi kebutuhan belajar individu setiap murid. Sebagaimana menurut Tomlinson, pembelajaran berdiferensiasi adalah usaha untuk menyesuaikan proses pembelajaran di kelas guna memenuhi kebutuhan belajar individu setiap murid (Oscarina Dewi Kusuma dan Siti Luthfah, 2020 : 10).

Selanjutnya dijelaskan bahwa pembelajaran berdiferensiasi adalah serangkaian keputusan masuk akal (common sense) yang dibuat oleh guru yang berorientasi kepada kebutuhan murid.

Keputusan- keputusan yang dibuat tersebut adalah yang terkait dengan:

  1. Bagaimana mereka menciptakan lingkungan belajar yang “mengundang’ murid untuk belajar dan bekerja keras untuk mencapai tujuan belajar yang tinggi. 
  2. Kurikulum yang memiliki tujuan pembelajaran yang didefinisikan secara jelas. 
  3. Penilaian berkelanjutan. 
  4. Bagaimana guru menanggapi atau merespon kebutuhan belajar muridnya. 
  5. Manajemen kelas yang efektif. 

Pembelajaran berdiferensiasi haruslah berakar pada pemenuhan kebutuhan belajar murid dan bagaimana guru merespon kebutuhan belajar tersebut. Dengan demikian, guru perlu melakukan identifikasi kebutuhan belajar dengan lebih komprehensif, agar dapat merespon dengan lebih tepat terhadap kebutuhan belajar murid-muridnya.

Pemetaan kebutuhan belajar murid menurut Tomlinson dalam bukunya yang berjudul How to Differentiate Instruction in Mixed Ability Classroom menyampaikan bahwa guru dapat mengkategorikan kebutuhan belajar murid, paling tidak berdasarkan 3 aspek (Oscarina Dewi Kusuma dan Siti Luthfah, 2020 : 13).

Ketiga aspek tersebut adalah:

1. Kesiapan Belajar (readiness) Murid

Kesiapan belajar (readiness) adalah kapasitas untuk mempelajari materi baru. Kesiapan belajar murid bukanlah tentang tingkat intelektualitas (IQ). Hal ini lebih kepada informasi tentang apakah pengetahuan atau keterampilan yang dimiliki murid saat ini, sesuai dengan keterampilan atau pengetahuan baru yang akan diajarkan. Adapun tujuan melakukan pemetaan kebutuhan belajar murid berdasarkan tingkat kesiapan belajar adalah untuk memodifikasi tingkat kesulitan pada bahan pembelajaran, sehingga dipastikan murid terpenuhi kebutuhan belajarnya (Joseph, Thomas, Simonette & Ramsook, 2013 dalam Oscarina Dewi Kusuma dan Siti Luthfah, 2020 : 17)

2. Minat Murid

Minat adalah salah satu motivator penting bagi murid untuk dapat ‘terlibat aktif’ dalam proses pembelajaran. Tomlinson menjelaskan bahwa mempertimbangkan minat murid dalam merancang pembelajaran memiliki tujuan menghubungkan" murid pada pelajaran untuk menjaga minat mereka. Dengan menjaga minat murid tetap tinggi, diharapkan dapat meningkatkan kinerja murid. (Oscarina Dewi Kusuma dan Siti Luthfah, 2020 : 18)

3. Profil Belajar Murid

Tujuan dari pemetaan kebutuhan belajar murid berdasarkan profil belajar adalah untuk memberikan kesempatan kepada murid untuk belajar secara natural dan efisien. Menurut Tomlinson (dalam Oscarina Dewi Kusuma dan Siti Luthfah, 2020 : 20), ada banyak faktor yang dapat mempengaruhi pembelajaran seseorang. Berikut ini adalah beberapa yang harus diperhatikan:

• Lingkungan: suhu, tingkat aktivitas, tingkat kebisingan, jumlah cahaya.

• Pengaruh Budaya: santai - terstruktur, pendiam - ekspresif, personal-impersonal.

• Visual: belajar dengan melihat (diagram, power point, catatan, peta, grafik organisator).

• Auditori: belajar dengan mendengar (kuliah, membaca dengan keras, mendengarkan musik).

• Kinestetik: belajar sambil melakukan (bergerak dan meregangkan tubuh, kegiatan hands on, dsb).

Berdasarkan ketiga aspek dalam mengkategorikan kebutuhan belajar murid, maka dapat disimpulkan bahwa untuk mengoptimalkan pembelajaran dan hasil pembelajaran murid, diperlukan pembelajaran yang dikembangkan sesuai dengan kebutuhan belajar murid.

Strategi diferiensiasi yang dapat dilakukan guru berdasarkan 3 pemetaan kebutuhan belajar siswa antara lain :

1. Diferensiasi Konten

Konten adalah adalah apa yang diajarkan guru kepada murid. Konten dibedakan kepada : tingkat kesiapan, minat atau profil belajar murid yang berbeda atau kombinasi terhadap tingkat kesiapan, minat dan profil belajar murid.

2. Diferensiasi Proses 

Yang dimaksud proses dalam hal diferensiasi proses adalah mengacu pada bagaimana murid akan memahami atau memaknai apa informasi atau materi yang dipelajari. Saat guru telah memeakan kebutuhan belajar murid yang kemudian harus kita pikirkan adalah : bagaimana kebutuhan tersebut bisa dipenuhi?; Caranya seperti apa?; Proses seperti apa yang perlu disiapkan agar guru mengetahui bahwa setiap murid belajar?; Apakah murid-murid akan bekerja mandiri atau dalam kelompok? Guru perlu juga berpikir tentang seberapa banyak jumlah bantuan yang diberikan kepada murid-murid; Siapa saja yang memerlukan banyak bantuan?; Siapa yang cukup kita berikan bantuan dalam bentuk pertanyaan pemandu dan mereka kemudian bisa bekerja dengan mandiri? Semua hal tersebut harus dipertimbangkan sebagai bagian dari skenario pembelajaran yang dirancang oleh guru.

Beberapa cara diferensiasi prose yang dapat dilakukan guru antara lain:

  • Guru dapat menggunakan kegiatan berjenjang dimana semua murid bekerja membangun pemahaman dan keterampilan yang sama tetapi dilakukan dengan berbagai tingkat dukungan, tantangan atau kompleksitas yang berbeda-beda.
  • Guru dapat menyediakan pertanyaan pemandu atau tantangan yang perlu diselesaikan di sudut-sudut minat yang kita siapkan di kelas. Hal ini akan mendorong murid untuk mengeksplorasi berbagai sub materi yang terkait dengan topik yang sedang dipelajari yang menarik minat mereka.
  • Guru membuat agenda individual untuk murid misalnya guru dapat membuat daftar tugas yang berisi pekerjaan umum untuk seluruh kelas serta daftar pekerjaan yang terkait dengan kebutuhan individual murid. Jika murid telah selesai mengerjakan pekerjaan umum maka mereka dapat melihat agenda individual dan mengerjakan pekerjaan yang dibuat khusus untuk mereka.
  • Guru memvariasikan lama waktu yang dapat diambil murid untuk menyelesaikan tugas. Hal ini untuk memberikan dukungan tambahan bagi murid-murid yang kesulitan atau sebaliknya mendorong murid yang cepat untuk mengejar topik secara lebih mendalam. Misalnya mengembangkan kegiatan bervariasi yang mengakomodasi beragam gaya belajar visual, auditori dan kinestetik. Contoh lainnya menggunakan pengelompokan yang fleksibel yang sesuai dengan kesiapan kemampuan dan minat.

3. Diferensiasi Produk

Diferensiasi produk adalah tentang tagihan apa yang diharapkan guru dari murid. Produk ini adalah hasil pekerjaan atau unjuk kerja yang harus ditunjukkan oleh murid kepada guru. Produk adalah sesuatu yang ada wujudnya, bisa berbentuk karangan, tulisan, hasil tes, pertunjukan, presentasi, pidato, rekaman, diagram dan sebagainya. Yang terpenting produk ini harus mencerminkan pemahaman murid dan berhubungan dengan tujuan pembelajaran yang diharapkan.

Sebelum melakukan diferensiasi produk guru perlu mempertimbangkan kebutuhan belajar murid  terlebih dahulu sebelum menentukan penugasan produk. Penugasan produk harus membantu murid baik secara individu atau dalam kelompok. 

Pada dasarnya diferensiasi produk meliputi dua hal :

  1. Memberikan tantangan dan keragaman atau variasi 
  2. Memberikan murid pilihan bagaimana mereka dapat mengekspresikan pembelajaran yang diinginkan. Sangat penting bagi guru untuk menentukan apa sebenarnya ekspektasi yang diharapkan murid?; Kualitas pekerjaan seperti apa yang diinginkan?; Konten apa yang harus ada dalam produk mereka?; Bagaimana mereka harus mengerjakannya?; dan Apa sifat dari produk akhir yang diharapkan tersebut?

Proses pembelajaran merupakan kegiatan yang kompleks, meliputi berbagai komponen yang saling berkaitan satu sama lain. Karena itu proses pembelajaran hendaknya dilaksanakan secara terencana, teratur, dan terpadu. Berbagai komponen yang saling berhubungan perlu dikenali, dikaji dan dikembangkan, sehingga mekanisme kerja antar komponen itu secara menyeluruh dapat membuahkan hasil pembelajaran yang maksimal, berpihak pada murid dan sesuai dengan kebutuhan belajar murid.

Mutu proses pembelajaran sangat tergantung pada mutu interaksi guru dan murid. Mutu interaksi guru sangat dipengaruhi perilakunya di kelas, misalnya kejelasan mengajar, penggunaan variasi metode mengajar, variasi penggunaan media, antusiasme mengajar, kedisiplinan, tingkat empati terhadap siswa, huhungan interpersonal, daya inovasi, dan penggunaan prinsip-prinsip pembelajaran yang efektif. Demikian pula dengan mutu interaksi siswa di kelas sangat dipengaruhi oleh perilaku siswa misalnya : keseriusan belajar, semangat belajar, minat belajar, dan kesiapan belajar (mental dan fisik).

Dari uraian di atas maka dalam rangka mencapai tujuan terpenuhinya kebutuhan belajar murid dengan pembelajaran berdiferensiasi maka dibutuhkan profil guru yang mandiri, reflektif, kolaboratif, inovatif dan berpusat pada murid. Guru harus benar-benar dapat berperan sebagai pamong yang dapat memberikan ‘tuntunan’ agar anak dapat menemukan kemerdekaannya dalam belajar, tidak kehilangan arah dan membahayakan dirinya, serta murid dapat tumbuh dan berkembang sesuai dengan kodrat alam dan zamannya.

Referensi :

Oscarina Dewi Kusuma, M.Pd. dan Siti Luthfah, M.Pd. 2020. Memenuhi Kebutuhan Belajar Murid Melalui Pembelajaran Berdiferensiasi. Modul Pendidikan Guru Pengerak. Jakarta : Kemdikbud.

_______, 2020. Vidio Pembelajaran Pendidikan Guru Penggerak Modul 2.1. Jakarta : Kemendikbud.


Jumat, 25 Desember 2020

Menciptakan Budaya Positif Menghargai dan Peduli

Budaya positif adalah kebiasaan yang disepakati bersama untuk dijalankan dalam waktu yang lama. Jika kebiasaan positif ini sudah membudaya di sekolah, maka nilai-nilai karakter yang diharapkan akan terbentuk pada seluruh warga sekolah khusunya adalah para siswa.

Budaya positif akan bermuara pada pembentukan nilai-nilai karakter terutama pada siswa. Nilai-nilai karakter sebagai mana kita ketahui cukup banyak. Hal ini tentu akan menjadi rumit ketika semua nilai harus dituangkan dalam program budaya positif yang akan diciptakan. Karena itu perlu ditentukan sebuah core value (nilai utama) yang akan menjadi pedoman prilaku positif. Hal ini tidak berarti bahwa mengesampingkan nilai-nilai karakter lainnya, akan tetapi nilai-nilai karakter lainnya akan selalu terintegrasi dalam nilai utama. Hal tersebut karena sebenarnya satu nilai karakter tidak dapat lepas atau sangat berkaitan erat dan saling mendukung nilai yang lainnya. Sebagai contoh dalam sebuah aktivitas nilai gotong-royong maka disana juga ada aktivitas disiplin, saling menghormati, peduli, dan lain-lain.

Bulan Desember 2020 sekolah memasuki masa-masa akhir semester dimana para siswa mempersiapkan diri mengikuti Penilaian Akhir Semeseter Satu. Setelah menerima LHB para siswa libur semester satu. Masa-masa ini merupakan moment yang baik untuk merencanakan dan membuat kesepakatan di level guru dan tenaga kependidikan dalam rangka menciptakan budaya positif. Harapannya semester yang akan datang ketika siswa sudah mulai masuk sekolah, para guru sudah bisa relatif terkondisi dengan kesepakatan tentang budaya positif tersebut melalui interaksi sesama guru di sekolah pada saat bertugas piket secara beregu selama liburan sekolah. Sedangkan sosialisasi kepada siswa dan orang tua dapat dilakukan saat awal masuk semester dua pada Januari 2021 yang akan datang.

Berkaitan dengan situasi libur sekolah di atas, maka saya berkolaborasi dengan rekan CGP satu sekolah yaitu Ibu Sri Rejeki, S.Pd.,MM.Pd. bersama dengan rekan-rekan guru lainnya membuat kesepakatan tentang budaya positif di sekolah. Kegiatan ini tidak begitu saja terjadi akan tetapi dilakukan melalui beberapa tahapan antara lain :

  1. Berdiskusi dengan rekan sejawat secara individual tentang permasalahan-permasalahan di sekolah khususnya yang berhubungan dengan siswa dan alternatif solusinya.
  2. Berdiskusi lebih fokus dengan rekan sejawat yang memiliki persepsi dan visi yang sama tentang pentingnya budaya sekolah.
  3. Mengadakan pertemuan untuk membahas tentang core value (nilai inti) budaya positif di sekolah yang akan diciptakan bersama dengan semua rekan sejawat.

Kegiatan pertemuan dimaksud pada nomor tiga dilaksanakan bersamaan dengan kegiatan evaluasi pembelajaran semester satu dan persiapan pembelajaran semester dua tahun pelajaran 2020/2021. Sebelum membahas tentang nilai utama budaya positif yang akan diciptakan di sekolah, diawali dengan kegiatan kesepakatan guru dalam rangka mendukung terciptanya budaya positif. Di samping itu, sebelum kesepakatan kelas dibuat yang merupakan salah satu cara untuk menciptakan budaya positif, kiranya diperlukan pula kesepakatan guru agar prilaku guru terhadap siswa tidak berbeda jauh antara guru yang satu dengan lainnya.

Proses menentukan nilai utama dari budaya positif yang akan dibangun menggunakan pendekatan inkuiri apresiatif dengan model BAGJA. Dalam setiap tahapan BAGJA para guru terlibat dalam diskusi yang berhubungan dengan prilaku atau karakter yang menjadi kekuatan. Akhir dari tahapan tersebut adalah disepakati bahwa nilai utama yang akan dijadikan pedoman dalam menciptakan budaya positif di sekolah adalah menghargai dan peduli. 

Gb.1.1  Proses Tahapan BAGJA Membuat Kesepakatan Guru
dan Menentukan Nilai Utama Budaya Positif

Gb.1.2  Proses Tahapan BAGJA Membuat Kesepakatan Guru
dan Menentukan Nilai Utama Budaya Positif

Gb. 2 Nilai Utama Budaya Positif

Implementasi budaya positif dengan nilai utama saling menghargai dan peduli dapat dirasakan dampaknya secara langsung dan cepat. Di mana pasca kegitan tersebut prilaku guru sudah dapat dirasakan mengacu pada nilai utama tersebut. Kegiatan terebut tidak berhenti sampai disitu akan tetapi akan berlanjut pada awal semester dua dengan menyusun panduan tingkah laku yang mengacu pada nilai utama dan mensosialisasikannya kepada siswa, komite sekolah, dan orang tua siswa.


oo0O0oo